Cari di Sini

Minggu, 08 November 2009

Kutub Bakal Tak Punya Es

Para peneliti meramalkan, Laut Artik (kutub) akan bebas es pada musim panas dalam satu dekade mendatang. Setelah musim semi berlalu, para peneliti kembali mengukur ketebalan es sepanjang 450 kilometer dengan rute menyeberangi Laut Beaufort. Mereka menemukan sebagian besar es sangat tipis.

Pemimpin ekspedisi dan pakar es lautan dari University of Cambridge, Peter Wadhams, mengatakan, pada musim semi tahun lalu rata-rata ketebalan es hanya 1,8 meter, menandakan usia lapisan itu sekitar satu tahun. Sementara itu, es yang sudah bertahun-tahun sekitar 3 meter.

Tipisnya lapisan tersebut menjadi indikasi penting kondisi memprihatinkan es di Laut Artik. ”Secara sederhana, es tipis itu akan sekejap hilang pada musim es mulai meleleh,” ujarnya. Angin dan arus laut dapat pula memecah es yang tipis itu. Es yang terpecah dan mengapung bebas akan mudah terdorong ke wilayah perairan yang lebih hangat dan mencair. Catlin Arctic Survey dan kelompok konservasi internasional WWF mendukung penemuan tersebut.

Situasi es di Artik tersebut sangat dipengaruhi iklim dan kondisi alam. Kondisi es di Laut Artik kerap pula dikaitkan dengan perubahan iklim dan pemanasan global.

Sumber: http://sains.kompas.com/read/xml/2009/10/19/07384454/kutub.bakal.tak.punya.es.

Peternakan Hasilkan 51 Persen Gas Rumah kaca

World Watch Institute, dalam laporan yang dirintis Watch Magazine Edisi November/Desember 2009 menyebut bahwa peternakan bertanggung jawab atas sedikitnya 51 persen penyebab gas rumah kaca global. Ini bukan lagi lampu kuning melainkan sudah lampu merah.

World Watch Institute adalah organisasi riset independen di Washington Amerika Serikat yang berdiri sejak 1974. Organisasi ini dikenal kritis terhadap isu global dan lingkungan. Penulis artikel itu Dr Robert Goodland, mantan penasihat utama bidang lingkungan untuk Bank Dunia, dan staf riset Bank Dunia Jeff Anhang. Keduanya membuat laporan ini berdasar Bayangan Panjang Peternakan , laporan yang diterbitkan tahun 2006 oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO).

Majalah itu terbit dalam 36 bahasa dan data penelitiannya digunakan oleh banyak NGO (lembaga swadaya masyarakat) di seluruh dunia, dan juga badan-badan di bawah PBB. NGO yang memakai data-datanya antara lain Greenpeace Southeast Asia, dan Yayasan Obor Indonesia.

Dua peneliti itu juga menghitung siklus hidup emisi produksi ikan yang diternakkan, CO2 dari pernapasan hewan, dan koreksi perhitungan yang sebenarnya dari jumlah hewan ternak yang dilaporkan di muka bumi. Gas metana yang dikeluarkan oleh hewan ternak mengikat panas 72 kali lebih kuat daripada CO2. Hal ini mewakili kenaikan yang lebih akurat dari perhitungan asli FAO dengan potensi pemanasan sebesar 23 kali. Meskipun demikian, peneliti itu memberitahu bahwa perkiraan mereka tentang 51 persen itu masih angka minimal.

"Masyarakat Indonesia, bahkan pihak-pihak yang mestinya memerhatikan isu-isu lingkungan, harus tahu informasi-informasi mengenai dampak industri peternakan dan bahaya daging. Apa yang hendak pemerintah Indonesia lakukan sekarang ini? Data-data sudah terhampar. Pemerintah, jika masih saja tidak percaya tentang bahaya daging, tolong buka internet dan mencari tahu," ujar pemerhati lingkungan yang juga dosen arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta Agustinus Madyana Putra.

Sumber: http://sains.kompas.com/read/xml/2009/11/05/08121712/peternakan.hasilkan.51.persen.gas.rumah.kaca

Adaptasi Perubahan Iklim, Tak Cukup Hanya Berbagi Informasi

Perubahan iklim yang berdampak pada pergeseran musim, membuat para petani bingung menentukan masa awal tanam. Perlu upaya simultan untuk mengajak petani beradaptasi dan mengubah pola tanam yang selama ini sudah menjadi tradisi. Pemantau Sekolah Lapang Iklim (SLI), Raja Siregar, mengatakan, adaptasi tersebut akan efektif jika dilakukan secara berkelompok. Oleh karena itu, menurut dia, dibutuhkan kelembagaan petani, tak hanya membagikan informasi. "Adaptasi perubahan iklim tidak cukup hanya dengan informasi. Jika pemerintah membuat SLI, agar memasukkan muatan kelembagaan petani. Kalau adaptasi tidak berkelompok, tidak bisa mengubah pola tanam," kata Raja, pada sarasehan iklim "Memperjuangkan Keselamatan di Tengah Perubahan Iklim", di Jakarta, Senin (2/11). Selama ini, berdasarkan pengalamannya, para petani selalu memulai tanam pada waktu yang sama meskipun telah berulang kali gagal panen. "Informasi prakiraan musim, jika digunakan petani bisa menjadi dasar keputusan awal musim. Tapi masih ada nilai-nilai lokal yang dipercayai untuk menentukan mulai tanam," ungkapnya.

Sementara itu, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Departemen Pertanian, S. Gatot Irianto mengatakan, salah satu upaya yang dilakukan pihaknya adalah menyediakan benih yang tahan terhadap perubahan iklim. Selain itu, memberikan pemahaman kepada petani bahwa ada jenis padi yang berbeda untuk ditanam di musim hujan dan musim kemarau.
"Ada benih yang tanamannya tahan rendaman. Kedua, benih yang konsumsi airnya lebih sedikit. Selama ini, petani itu pada musim hujan dan kemarau yang ditanam sama-sama padi sawah. Harusnya pada musim kering ditanam padi gogo," kata Gatot. Penguatan masyarakat adat juga dinilai bisa mengefektifkan upaya adaptasi petani terhadap perubahan iklim. Ia mencontohkan, pola pengairan di Bali yang dikenal dengan Subak. "Semua petani mematuhi sistem Subak ini untuk mengatur air. "Dasarnya tidak hanya alokasi, tapi juga ada sanksi tegas bagi yang melanggarnya Sanksi ini tidak bisa ditiru suku lain," ujar dia.

Sumber: http://sains.kompas.com/read/xml/2009/11/02/15070161/adaptasi.perubahan.iklim.tak.cukup.hanya.berbagi.informasi

Sabtu, 07 November 2009

Keberlanjutan Kehidupan di Bumi

Apa yang dimaksud dengan keberlanjutan? Definisinya banyak, tetapi semuanya mengacu kepada suatu kebenaran sederhana. Kita adalah spesies dengan hasrat tak terbatas yang hidup di Bumi yang sumber dayanya terbatas. Populasi kita, kekayaan kita, dan pengharapan kita telah tumbuh dengan dramatis dalam dekade-dekade belakangan ini, sementara Bumi, kalaupun tumbuh, telah tumbuh menjadi lebih kecil karena teknologi telah membuat kita kian dekat satu sama lain. Kita harus menyadari bahwa kita tak dapat menciptakan planet yang lebih besar. Namun itu tak berarti kita tanpa harapan. Harapan itu ada, bersama ketetapan hati, kreativitas, dan inovasi.

Kita telah menggunakan lebih banyak sumber daya terbarukan Bumi-tanaman dan tanah, air tawar, air bersih, dan yang lainnya-daripada yang dapat disimpan alam setiap tahun. Dengan jumlah penduduk yang mendekati tujuh miliar dan masih tumbuh pesat, ketidakseimbangan itu tentulah akan meningkat dengan berlalunya waktu. Kita dihadapkan pada kemungkinan, karena populasi kita akan melonjak hingga sembilan miliar pada tahun 2050, semua sumber daya Bumi mungkin tak akan cukup untuk memberi makan, memberi sandang dan memelihara kita semua.

Planet baru bukanlah pilihan dan turun menuju kemiskinan global tak dapat dipertimbangkan. Jadi, dari manakah datangnya harapan? Untuk satu hal, ini datang dari pengakuan bahwa kita dapat memperlambat laju pertumbuhan pengan jauh lebih cepat dari sekarang. Di seluruh dunia, kurangnya akses terhadap alat kontrasepsi telah mengakibatkan berjuta-juta kehamilan-diperkirakan 76 juta orang di dunia berkembang saja-yang turut membuat bengkak populasi manusia, menekan keluarga, infrastruktur lokal, dan lingkungan global. Dengan membuat program KB tersedia bagi yang menginginkannya, kita dapat memperlambat laju pertambahan penduduk secara dramatis. Jika tidak, kita mungkin akan mendapati ada 11 miliar penduduk hingga tahun 2050, bukan 9 miliar.

Namun, kita juga perlu mencari efisiensi baru. Keberlanjutan akan datang dalam 1.000 cara. Sumber energi terbarukan akan menjadi bagian penting dari solusi dan ada banyak alasan untuk berharap peningkatan kesejahteraan manusia akan ditenagai angin, Matahari, gelombang laut, dan panas Bumi.


Banyak yang juga berharap, pasokan energi berkelanjutan yang lebih beragam akan membantu menyebarkan manfaat ekonomi secara lebih luas. Bolivia, misalnya, telah lama memasok dunia dengan timah dan mineral lain. Namun, Bolivia juga punya setengah lithium dunia-bahan penting dalam baterai untuk kendaraan listrik. Warga Bolivia akan menghadapi tantangan yang sama seperti kita semua: memanfaatkan kesempatan bagi masa depan yang lebih cerah tanpa mengulangi kesalahan ekonomi dan ekologi masa lalu.

Yang ironis, sumber daya hayati dan terbarukan menghadapi tantangan terbesar. Alam menyediakan layanan mendasar yang amat banyak bagi kesejahteraan kita, tetapi kerap tak kita perhatikan sampai semua mulai menghilang. Pohon tidak akan tumbuh lagi di pinggir bukit jika tanah telah hanyut terbawa air dan ikan tak dapat lagi kembali ke tempat pembiakan yang diratakan oleh pukat ikan yang merusak. Simpanan besi, uranium, atau potasium akan ada sampai kita menggunakannya; tetapi sumber daya alam yang jauh lebih berharga, jika kita menyalahgunakannya, dapat lenyap begitu saja.

Bagi ratusan juta penduduk, dari Brasil hingga India, terutama di China, perluasan ekonomi dan globalisasi berarti bebas untuk pertama kalinya dari kemiskinan yang menggilas. Kemajuan itu kini terancam dan demikian juga kesehatan ekosistem global. Karena kita menghadapi tantangan lingkungan dan ekonomi yang kompleks dan saling terkait, kita harus berusaha tak hanya melestarikan pesona alam dan fungsi yang sangat penting dari planet tempat kita tinggal, tetapi juga memperluas harapan bagi hidup yang aman dan sumber daya yang cukup bagi seluruh umat manusia.

Sumber: National Geographic Indonesia: Detak Bumi, Edisi Spesial

Titik Panas Perubahan Global

Populasi yang terpaksa hijrah akibat perubahan lingkungan semakin bertambah.

Bangladesh

Rendahnya negeri Bangladesh dapat menggambarkan jumlah pengungsi akibat perubahan iklim di masa depan. Karena hampir setengah wilayah ini kurang dari 10 meter dati permukaan laut, luapan banjir lebih sering melanda seiring bertambahnya jumlah es yang mencair di Himalaya. Aktivitas siklon tropis sepertinya juga akan meningkat dalam waktu dekat, meluapkan sungai Padma (Gangga), Jamuna (Brahmaputra), dan Meghna yang seluruhnya berada di dalam negeri ini. Lebih dari sepertiga migran yang masuk ke Dhaka, ibukota Bangladesh, belakangan ini adalah pengungsi iklim. Hampir 80 persen persoalan Bangladesh timbul akibat erosi tanah yang dipicu oleh badai.



Gobi, China


Luas Gurun Gobi bertambah lebih dari 10.000 kilometer persegi setiap tahunnya akibat aktivitas pembajakan tanah dan penggembalaan yang berlebihan. Perluasan ini telah memaksa terjadinya penduduk dan mengancam ribuan desa lainnya di Provinsi Gansu, China, dan daerah otonomi Mongolia Dalam serta Ningxia Huizu. Populasi domba, kambing, dan sapi di China meningkat tiga kali lipat antara 1950-2002, sehingga berdampak sangat buruk terhadap kualitas tanah. Aktivitas merumput yang berlebihan oleh binatang-binatang ini dan meningkatnya penggunaan lahan untuk pertanian memungkinkan Gurun Gobi terus bertambah luas. Di Provinsi Gansu saja, sekitar 4.000 desa beresiko terkubur dalam pasir.



Alaska, AS

Peningkatan suhu global berdampak pada kehidupan ratusan penduduk desa-desa di Alaska yang telah-atau akan-dipaksa pindah. Bagian utara Alaska telah mengalami peningkatan suhu sebesar 3 derajat Celcius dalam beberapa puluh tahun terakhir, mengakibatkan pencairan es dan permafrost. MEncairnya permafrost berbahaya bagi kekuatan fondasi rumah. Mencairnya lapisan es bisa membuat sungai-sungai bergerak ke arah pedesaan dan meningkatkan permukaan air. Lenyapnya es laut yang berfungsi sebagai pelindung berarti gelombang pasang yang lebih tinggi, mengganasnya badai, dan erosi di desa-desa pesisir, khususnya yang berada di pulau-pulau penghalang.



Tuvalu

Negara pulau di Pasifik yang permukaannya rendah ini sangat rentan terhadap naiknya permukaan laut. Mengganasnya badai tropis, membuat keberadaan banyak rumah terancam oleh gelombang ombak. Luapan dan genangan air laut yang disebabkan oleh meningginya air pasang telah berdampak pada lubang-lubang tempat ditanamnya talas, makanan pokok penduduk kepulauan tersebut. Penyakit-penyakit tropis yang semakin sering menyerang diperkirakan timbul karena suhu yang semakin tinggi dan semakin luasnya area genangan air. Walaupun untuk menenggelamkan seluruh Tuvalu lempeng-lempeng es di Greenland dan Antartika harus terlebih dahulu mencair, pemerintah negara ini telah mulai menjajaki pilihan untuk merelokasi penduduknya.



Haiti

Pembabatan hutan dan penurunan kualitas tanah membuat banyak warga Haiti melarikan diri ke Republik Dominika atau Amerika Serikat. Pembabatan hutan membahayakan dua kebutuhan dasar Haiti: pertanian berkesinambungan dan energi berbasis kayu. Meningkatnya aktivitas badai tropis semakin memicu migrasi lingkungan. Pada musim panas 2008, tiga badai besar menghantam Haiti, membinasakan lebih dari 500 orang dan membuat sekitar satu juta jiwa menjadi tunawisma. Dengan pendapatan domestik bruto terendah di belahan Bumi bagian barat, sangat sedikit yang bisa dilakukan Haiti untuk menyelesaikan krisis ini.



Sumber: National Geographic Indonesia: Detak Bumi, Edisi Spesial

Teknologi Pengolahan Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun)

Definisi limbah B3 berdasarkan BAPEDAL (1995) ialah setiap bahan sisa (limbah) suatu kegiatan proses produksi yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) karena sifat (toxicity, flammability, reactivity, dan corrosivity) serta konsentrasi atau jumlahnya yang baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak, mencemarkan lingkungan, atau membahayakan kesehatan manusia.

Berdasarkan sumbernya, limbah B3 dapat diklasifikasikan menjadi:

  • Primary sludge, yaitu limbah yang berasal dari tangki sedimentasi pada pemisahan awal dan banyak mengandung biomassa senyawa organik yang stabil dan mudah menguap
  • Chemical sludge, yaitu limbah yang dihasilkan dari proses koagulasi dan flokulasi
  • Excess activated sludge, yaitu limbah yang berasal dari proses pengolahan dengn lumpur aktif sehingga banyak mengandung padatan organik berupa lumpur dari hasil proses tersebut
  • Digested sludge, yaitu limbah yang berasal dari pengolahan biologi dengan digested aerobic maupun anaerobic di mana padatan/lumpur yang dihasilkan cukup stabil dan banyak mengandung padatan organik.

Limbah B3 dikarakterisasikan berdasarkan beberapa parameter yaitu total solids residue (TSR), kandungan fixed residue (FR), kandungan volatile solids (VR), kadar air (sludge moisture content), volume padatan, serta karakter atau sifat B3 (toksisitas, sifat korosif, sifat mudah terbakar, sifat mudah meledak, beracun, serta sifat kimia dan kandungan senyawa kimia).

Contoh limbah B3 ialah logam berat seperti Al, Cr, Cd, Cu, Fe, Pb, Mn, Hg, dan Zn serta zat kimia seperti pestisida, sianida, sulfida, fenol dan sebagainya. Cd dihasilkan dari lumpur dan limbah industri kimia tertentu sedangkan Hg dihasilkan dari industri klor-alkali, industri cat, kegiatan pertambangan, industri kertas, serta pembakaran bahan bakar fosil. Pb dihasilkan dari peleburan timah hitam dan accu. Logam-logam berat pada umumnya bersifat racun sekalipun dalam konsentrasi rendah. Daftar lengkap limbah B3 dapat dilihat di PP No. 85 Tahun 1999: Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Silakan klik link tersebut untuk daftar lengkap yang juga mencakup peraturan resmi dari Pemerintah Indonesia.

Penanganan atau pengolahan limbah padat atau lumpur B3 pada dasarnya dapat dilaksanakan di dalam unit kegiatan industri (on-site treatment) maupun oleh pihak ketiga (off-site treatment) di pusat pengolahan limbah industri. Apabila pengolahan dilaksanakan secara on-site treatment, perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:

  • jenis dan karakteristik limbah padat yang harus diketahui secara pasti agar teknologi pengolahan dapat ditentukan dengan tepat; selain itu, antisipasi terhadap jenis limbah di masa mendatang juga perlu dipertimbangkan
  • jumlah limbah yang dihasilkan harus cukup memadai sehingga dapat menjustifikasi biaya yang akan dikeluarkan dan perlu dipertimbangkan pula berapa jumlah limbah dalam waktu mendatang (1 hingga 2 tahun ke depan)
  • pengolahan on-site memerlukan tenaga tetap (in-house staff) yang menangani proses pengolahan sehingga perlu dipertimbangkan manajemen sumber daya manusianya
  • peraturan yang berlaku dan antisipasi peraturan yang akan dikeluarkan Pemerintah di masa mendatang agar teknologi yang dipilih tetap dapat memenuhi standar

Teknologi Pengolahan

Terdapat banyak metode pengolahan limbah B3 di industri, tiga metode yang paling populer di antaranya ialah chemical conditioning, solidification/Stabilization, dan incineration.

  1. Chemical Conditioning
    Salah satu teknologi pengolahan limbah B3 ialah chemical conditioning. TUjuan utama dari chemical conditioning ialah:
    • menstabilkan senyawa-senyawa organik yang terkandung di dalam lumpur
    • mereduksi volume dengan mengurangi kandungan air dalam lumpur
    • mendestruksi organisme patogen
    • memanfaatkan hasil samping proses chemical conditioning yang masih memiliki nilai ekonomi seperti gas methane yang dihasilkan pada proses digestion
    • mengkondisikan agar lumpur yang dilepas ke lingkungan dalam keadaan aman dan dapat diterima lingkungan

    Chemical conditioning terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut:

    1. Concentration thickening
      Tahapan ini bertujuan untuk mengurangi volume lumpur yang akan diolah dengan cara meningkatkan kandungan padatan. Alat yang umumnya digunakan pada tahapan ini ialah gravity thickener d an solid bowl centrifuge. Tahapan ini pada dasarnya merupakan tahapan awal sebelum limbah dikurangi kadar airnya pada tahapan de-watering selanjutnya. Walaupun tidak sepopuler gravity thickener dan centrifuge, beberapa unit pengolahan limbah menggunakan proses flotation pada tahapan awal ini.
    2. Treatment, stabilization, and conditioning
      Tahapan kedua ini bertujuan untuk menstabilkan senyawa organik dan menghancurkan patogen. Proses stabilisasi dapat dilakukan melalui proses pengkondisian secara kimia, fisika, dan biologi. Pengkondisian secara kimia berlangsung dengan adanya proses pemb entukan ikatan bahan-bahan kimia dengan partikel koloid. Pengkondisian secara fisika berlangsung dengan jalan memisahkan bahan-bahan kimia dan koloid dengan cara pencucian dan destruksi. Pengkondisian secara biologi berlangsung dengan adanya proses destruksi dengan bantuan enzim dan reaksi oksidasi. Proses-proses yang terlibat pada tahapan ini ialah lagooning, anaerobic digestion, aerobic digestion, heat treat ment, polyelectrolite flocculation, chemical conditioning, dan elutriation.
    3. De-watering and drying
      De-watering and drying bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi kandungan air dan sekaligus mengurangi volume lumpur. Proses yang terlibat pada tahapan ini umumnya ialah pengeringan dan filtrasi. Alat yang biasa digunakan adalah drying bed, filter press, centrifuge, vacuum filter, dan belt press.
    4. Disposal
      Disposal ialah proses pembuangan akhir limbah B3. Beberapa proses yang terjadi sebelum limbah B3 dibuang ialah pyrolysis, wet air oxidation, dan composting. Tempat pembuangan akhir limbah B3 umumnya ialah sanitary landfill, crop land, atau injection well.
  2. Solidification/Stabilization
    Di samping chemical conditiong, teknologi solidification/stabilization juga dapat diterapkan untuk mengolah limbah B3. Secara u mum stabilisasi dapat didefinisikan sebagai proses pencapuran limbah dengan bahan tambahan (aditif) dengan tujuan menurunkan laju migrasi bahan pencemar dari limbah serta untuk mengurangi toksisitas limbah tersebut. Sedangkan solidifikasi didefinisikan sebagai proses pemadatan suatu bahan berbahaya dengan penambahan aditif. Kedua proses tersebut seringkali terkait sehingga sering dianggap mempunyai arti yang sama. Proses solidifikasi/stabilisasi berdasarkan mekanismenya dapat dibagi menjadi 6 golongan, yaitu:
    1. Macroencapsulation, yaitu proses dimana ba han berbahaya dalam limbah dibungkus dalam matriks struktur yang besar
    2. Microencapsulation, yaitu proses yang mirip macroencapsulation tetapi bahan pencemar terbungkus secara fisik dalam struktur kristal pada tingkat mikroskopik
    3. Precipitation
    4. Adsorpsi, yaitu proses dimana bahan pencemar diikat secara elektrokimia pada bahan pemadat melalui mekanisme adsorpsi.
    5. Absorbsi, yaitu proses solidifikasi bahan pencemar dengan menyerapkannya ke bahan padat
    6. Detoxification, yaitu proses mengubah suatu senyawa beracun menjadi senyawa lain yang tingkat toksisitasnya lebih rendah atau bahkan hilang sama sekali

    Teknologi solidikasi/stabilisasi umumnya menggunakan semen, kapur (CaOH2), dan bahan termoplastik. Metoda yang diterapkan di lapangan ialah metoda in-drum mixing, in-situ mixing, dan plant mixing. Peraturan mengenai solidifikasi/stabilitasi diatur oleh BAPEDAL berdasarkan Kep-03/BAPEDAL/09/1995 dan Kep-04/BAPEDAL/09/1995.

  3. Incineration
    Teknologi pembakaran (incineration ) adalah alternatif yang menarik dalam teknologi pengolahan limbah. Insinerasi mengurangi volume dan massa limbah hingga sekitar 90% (volume) dan 75% (berat). Teknologi ini sebenarnya bukan solusi final dari sistem pengolahan limbah padat karena pada dasarnya hanya memindahkan limbah dari bentuk padat yang kasat mata ke bentuk gas yang tidak kasat mata. Proses insinerasi menghasilkan energi dalam bentuk panas. Namun, insinerasi memiliki beberapa kelebihan di mana sebagian besar dari komponen limbah B3 dapat dihancurkan dan limbah berkurang dengan cepat. Selain itu, insinerasi memerlukan lahan yang relatif kecil.

    Aspek penting dalam sistem insinerasi adalah nilai kandungan energi (heating value) limbah. Selain menentukan kemampuan dalam mempertahankan berlangsungnya proses pembakaran, heating value juga menentuka

    n banyaknya energi yang dapat diperoleh dari sistem insinerasi. Jenis insinerator yang paling umum diterapkan untuk membakar limbah padat B3 ialah rotary kiln, multiple hearth, fluidized bed, open pit, single chamber, multiple chamber, aqueous waste injection, dan starved air unit. Dari semua jenis insinerator tersebut, rotary kiln mempunyai kelebihan karena alat tersebut dapat mengolah limbah padat, cair, dan gas secara simultan.

Penanganan Limbah B3

Limbah B3 harus ditangani dengan perlakuan khusus mengingat bahaya dan resiko yang mungkin ditimbulkan apabila limbah ini menyebar ke lingkungan. Hal tersebut termasuk proses pengemasan, penyimpanan, dan pengangkutannya. Pengemasan limbah B3 dilakukan sesuai dengan karakteristik limbah yang bersangkutan. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa kemasan limbah B3 harus memiliki kondisi yang baik, bebas dari karat dan kebocoran, serta h

arus dibuat dari bahan yang tidak bereaksi dengan limbah yang disimpan di dalamnya. Untuk limbah yang mudah meledak, kemasan harus dibuat rangkap di mana kemasan bagian dalam harus dapat menahan agar zat tidak bergerak dan mampu menahan kenaikan tekanan dari dalam atau dari luar kemasan. Limbah yang bersifat self-reactive dan peroksida organik juga memiliki persyaratan khusus d

alam pengemasannya. Pembantalan kemasan limbah jenis tersebut harus dibuat dari bahan yang tidak mudah terbakar dan tidak mengalami penguraian (dekomposisi) saat berhubungan dengan limbah. Jumlah yang dikemas pun terbatas sebesar maksimum 50 kg per kemasan sedangkan limbah yang memiliki aktivitas rendah biasanya dapat dikemas hingga 400 kg per kemasan.

Limbah B3 yang diproduksi dari sebuah unit produksi dalam sebuah pabrik harus disimpan dengan perlakuan khusus sebelum akhirnya diolah di u

nit pengolahan limbah. Penyimpanan harus dilakukan dengan sistem blok dan tiap blok terdiri atas 2×2 kemasan. Limbah-limbah harus diletakkan dan harus dihindari adanya kontak antara limbah yang tidak kompatibel. Bangunan penyimpan limbah harus dibuat dengan lantai kedap air, tidak bergelombang, dan

melandai ke arah bak penampung dengan kemiringan maksimal 1%. Bangunan juga harus memiliki ventilasi yang baik, terlindung dari masuknya air hujan, dibuat tanpa plafon, dan dilengkapi dengan sistem penangkal petir. Limbah yang bersifat reaktif atau korosif memerlukan bangunan penyimpan yang memiliki ko

nstruksi dinding yang mudah dilepas untuk memudahkan keadaan darurat dan dibuat dari bahan konstruksi yang tahan api dan korosi.

Mengenai pengangkutan limbah B3, Pemerintah Indonesia belum memiliki peraturan pengangkutan limbah B3 hingga tahun 2002. Nam

un, kita dapat merujuk peraturan pengangkutan yang diterapkan di Amerika Serikat. Peraturan tersebut terkait dengan hal pemberian label, analisa karakter limbah, pengemasan khusus, dan sebagainya. Persyaratan yang harus dipenuhi kemasan di antaranya ialah apabila terjadi kecelakaan dalam kondisi pengangkutan yang normal, tidak terjadi kebocoran limbah ke lingkungan dalam jumlah yang berarti. Selain itu, kemasan harus memiliki kualitas yang cukup agar efektivi

tas kemasan tidak berkurang selama pengangkutan. Limbah gas yang mudah terbagak harus dilengkapi dengan head shields pada kemasannya sebagai pelindung dan tambahan pelindung panas untuk mencegah kenaikan suhu yang cepat. Di Amerika juga diperlakukan rute pengangkutan khusus selain juga adanya kewajiban kelengkapan Material Safety Data Sheets (MSDS) yang ada di setiap truk dan di dinas pemadam kebarakan.

Secured Landfill. Faktor hidrogeologi, geologi lingkungan, topografi, dan faktor-faktor lainnya harus diperhatikan agar secured landfill tidak merusak lingkungan. Pemantauan pasca-operasi harus terus dilakukan untuk menjamin bahwa badan air tidak terkontaminasi oleh limbah B3.

Pembuangan Limbah B3 (Disposal)

Sebagian dari limbah B3 yang telah diolah atau tidak dapat diolah dengan teknologi yang tersedia harus berakhir pada pembuangan (disposal). Tempat pembuangan akhir yang banyak digunakan untuk limbah B3 ialah landfill (lahan urug) dan disposal well (sumur pembuangan). Di Indonesia, peraturan secara rinci mengenai pembangunan lahan urug telah diatur oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) melalui Kep-04/BAPEDAL/09/1995.

Landfill untuk penimbunan limbah B3 diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu: (1) secured landfill double liner, (2) secured landfill single liner, dan (3) landfill clay liner dan masing-masing memiliki ketentuan khusus sesuai dengan limbah B3 yang ditimbun.

Dimulai dari bawah, bagian dasar secured landfill terdiri atas tanah setempat, lapisan dasar, sistem deteksi kebocoran, lapisan tanah penghalang, sistem pengumpulan dan pemindahan lindi (leachate), dan lapisan pelindung. Untuk kasus tertentu, di atas dan/atau di bawah sistem pengumpulan dan pemindahan lindi harus dilapisi geomembran. Sedangkan bagian penutup terdiri dari tanah penutup, tanah tudung penghalang, tudung geomembran, pelapis tudung drainase, dan pelapis tanah untuk tumbuhan dan vegetasi penutup. Secured landfill harus dilapisi sistem pemantauan kualitas air tanah dan air pemukiman di sekitar lokasi agar mengetahui apakah secured landfill bocor atau tidak. Selain itu, lokasi secured landfill tidak boleh dimanfaatkan agar tidak beresiko bagi manusia dan habitat di sekitarnya.

Deep Injection Well
Deep Injection Well. Pembuangan limbah B3 melalui metode ini masih mejadi kontroversi dan masih diperlukan pengkajian yang komprehensif terhadap efek yang mungkin ditimbulkan. Data menunjukkan bahwa pembuatan sumur injeksi di Amerika Serikat paling banyak dilakukan pada tahun 1965-1974 dan hampir tidak ada sumur baru yang dibangun setelah tahun 1980.

Sumur injeksi atau sumur dalam (deep well injection) digunakan di Amerika Serikat sebagai salah satu tempat pembuangan limbah B3 cair (liquid hazardous wastes). Pembuangan limbah ke sumur dalam merupakan suatu usaha membuang limbah B3 ke dalam formasi geologi yang berada jauh di bawah permukaan bumi yang memiliki kemampuan mengikat limbah, sama halnya formasi tersebut memiliki kemampuan menyimpan cadangan minyak dan gas bumi. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam pemilihan tempat ialah strktur dan kestabilan geologi serta hidrogeologi wilayah setempat.

Limbah B3 diinjeksikan se dalam suatu formasi berpori yang berada jauh di bawah lapisan yang mengandung air tanah. Di antara lapisan tersebut harus terdapat lapisan impermeable seperti shale atau tanah liat yang cukup tebal sehingga cairan limbah tidak dapat bermigrasi. Kedalaman sumur ini sekitar 0,5 hingga 2 mil dari permukaan tanah.

Tidak semua jenis limbah B3 dapat dibuang dalam sumur injeksi karena beberapa jenis limbah dapat mengakibatkan gangguan dan kerusakan pada sumur dan formasi penerima limbah. Hal tersebut dapat dihindari dengan tidak memasukkan limbah yang dapat mengalami presipitasi, memiliki partikel padatan, dapat membentuk emulsi, bersifat asam kuat atau basa kuat, bersifat aktif secara kimia, dan memiliki densitas dan viskositas yang lebih rendah daripada cairan alami dalam formasi geologi.

Hingga saat ini di Indonesia belum ada ketentuan mengenai pembuangan limbah B3 ke sumur dalam (deep injection well). Ketentuan yang ada mengenai hal ini ditetapkan oleh Amerika Serikat dan dalam ketentuan itu disebutkah bahwa:

  1. Dalam kurun waktu 10.000 tahun, limbah B3 tidak boleh bermigrasi secara vertikal keluar dari zona injeksi atau secara lateral ke titik temu dengan sumber air tanah.
  2. Sebelum limbah yang diinjeksikan bermigrasi dalam arah seperti disebutkan di atas, limbah telah mengalami perubahan higga tidak lagi bersifat berbahaya dan beracun.
Referensi: Pengelolaan Limbah Industri – Prof. Tjandra Setiadi, Wikipedia, US
Sumber: http://majarimagazine.com/2008/01/teknologi-pengolahan-limbah-b3/

Teknologi Pengolahan Sampah

Pernah mendengan PLTSa? Pembangkit Listrik Tenaga Sampah? Suatu isu yang sedang hangat dibicarakan di Kota Bandung, sebuah kota besar di Indonesa yang beberapa waktu yang lalu pernah heboh karena keberadaan sampah yang merayap bahkan hingga badan jalan-jalan utamanya. Jangankan jalan utama, saat Anda memasuki Bandung menuju flyover Pasupati, Anda pasti akan disambut dengan segunduk besar sampah yang hampir menutupi setengah badan jalan. Itu dulu. Sekarang, Kota Bandung sudah kembali menjadi sedia kala dan solusi PLTSa-lah yang sedang diperdebatkan.

Tujuan akhir dari sebuah PLTSa ialah untuk mengkonversi sampah menjadi energi. Pada dasarnya ada dua alternatif proses pengolahan sampah menjadi energi, yaitu proses biologis yang menghasilkan gas-bio dan proses thermal yang menghasilkan panas. PLTSa yang sedang diperdebatkan untuk dibangun di Bandung menggunakan proses thermal sebagai proses konversinya. Pada kedua proses tersebut, hasil proses dapat langsung dimanfaatkan untuk menggerakkan generator listrik. Perbedaan mendasar di antara keduanya ialah proses biologis menghasilkan gas-bio yang kemudian dibarak untuk menghasilkan tenaga yang akan menggerakkan motor yang dihubungkan dengan generator listrik sedangkan proses thermal menghasilkan panas yang dapat digunakan untuk membangkitkan steam yang kemudian digunakan untuk menggerakkan turbin uap yang dihubungkan dengan generator listrik.

Proses Konversi Thermal

Proses konversi thermal dapat dicapai melalui beberapa cara, yaitu insinerasi, pirolisa, dan gasifikasi. Insinerasi pada dasarnya ialah proses oksidasi bahan-bahan organik menjadi bahan anorganik. Prosesnya sendiri merupakan reaksi oksidasi cepat antara bahan organik dengan oksigen. Apabila berlangsung secara sempurna, kandungan bahan organik (H dan C) dalam sampah akan dikonversi menjadi gas karbondioksida (CO2)

dan uap air (H2O). Unsur-unsur penyusun sampah lainnya seperti belerang (S) dan nitrogen (N) akan dioksidasi menjadi oksida-oksida dalam fasa gas (SOx, NOx) yang terbawa di gas produk. Beberapa contoh insinerator ialah open burning, single chamber, open pit, multiple chamber, starved air unit, rotary kiln, dan fluidized bed incinerator.

Incinerator. Sebuah ilustrasi bagian-bagian dalam sebuah incinerator.

Pirolisa merupakan proses konversi bahan organik padat melalui pemanasan tanpa kehadiran oksigen. Dengan adanya proses pemanasan dengan temperatur tinggi, molekul-molekul organik yang berukuran besar akan terurai menjadi molekul organik yang kecil dan lebih sederhana. Hasil pirolisa dapat berupa tar, larutan asam asetat, methanol, padatan char, dan produk gas.

Gasifikasi merupakan proses konversi termokimia padatan organik menjadi gas. Gasifikasi melibatkan proses perengkahan dan pembakaran tidak sempurna pada temperatur yang relatif tinggi (sekitar 900-1100 C). Seperti halnya pirolisa, proses gasifikasi menghasilkan gas yang dapat dibakar dengan nilai kalor sekitar 4000 kJ/Nm3.

Proses Konversi Biologis

Proses konversi biologis dapat dicapai dengan cara digestion secara anaerobik (biogas) atau tanah urug (landfill). Biogas adalah teknologi konversi biomassa (sampah) menjadi gas dengan bantuan mikroba anaerob. Proses biogas menghasilkan gas yang kaya akan methane dan slurry. Gas methane dapat digunakan untuk berbagai sistem pembangkitan energi sedangkan slurry dapat digunakan sebagai kompos. Produk dari digester tersebut b

erupa gas methane yang dapat dibakar dengan nilai kalor sekitar 6500 kJ/Nm3.

Modern Landfill. Konsep landfill seperti di atas ialah sebuah konsep landfill modern yang di dalamnya terdapat suatu sistem pengolahan produk buangan yang baik.

Landfill ialah pengelolaan sampah dengan cara menimbunnya di dalam tanah. Di dalam lahan landfill, limbah organik akan didekomposisi oleh mikroba dalam tanah menjadi senyawa-senyawa gas dan cair. Senyawa-senyawa ini berinteraksi dengan air yang dikandung oleh limbah dan air hujan yang masuk ke dalam tanah dan membentuk bahan cair yang disebut lindi (leachate). Jika landfill tidak didesain dengan baik, leachate akan mencemari tanah dan masuk ke dalam badan-badan air di dalam tanah. Karena itu, tanah di landfill harus mempunya permeabilitas yang rendah. Aktifias mikroba dalam landfill menghasilkan gas CH4 dan CO2 (pada tahap awal – proses aerobik) dan menghasilkan gas methane (pada proses anaerobiknya). Gas landfill tersebut mempunyai nilai kalor sekitar 450-540 Btu/scf. Sistem pengambilan gas hasil biasanya terdiri dari sejumlah sumur-sumur dalam pipa-pipa yang dipasang lateral dan dihubungkan dengan pompa vakum sentral. Selain itu terdapat juga sistem pengambilan gas dengan pompa desentralisasi.

Pemilihan Teknologi

Tujuan suatu sitem pemanfaatan sampah ialah dengan mengkonversi sampah tersebut menjadi bahan yang berguna secara efisien dan ekonomis dengan dampak lingkungan yang minimal. Untuk melakukan pemilihan alur konversi sampah diperlukan adanya informasi tentang karakter sampah, karakter teknis teknologi konversi yang ada, karakter pasar dari produk pengolahan, implikasi lingkungan dan sistem, persyaratan lingkungan, dan yang pasti: keekonomian.

Kembali ke Bandung. Kira-kira teknologi mana yang tepat sebagai solusi pengolahan sampah menjadi bahan berguna? Apakah PLTSa sudah merupakan teknologi yang tepat??

Sumber: http://majarimagazine.com/2007/12/teknologi-pengolahan-sampah/

Mengelola Sampah, Mengelola Gaya Hidup


Potensi limbah plastik sebagai bahan komoditas mulai disadari para perlaku bisnis di Indonesia. Terbukti dengan munculnya industri-industri daur ulang plastik di Jakarta bahkan di Kalimantan. Tidak hanya membawa dampak positif bagi lingkungan, daur ulang plastik juga dapat membuka lapangan kerja baru, seperti tenaga sortir plastik, tenaga giling, tenaga pengepakan sampai staf administrasi dan keuangan.

Hanya saja industri ini sering terbentur kendala bahan baku akibat belum adanya kebijakan dari pemerintah untuk mengikut sertakan masyarakat sebagai konsumen untuk ikut berperan dalam daur ulang sampah. Pembuangan sampah yang tercampur seperti yang berlaku di Indonesia saat ini dapat merusak dan mengurangi nilai dari material yang mungkin masih bisa dimanfaatkan lagi. Bahan-bahan organik dapat mengkontaminasi bahan-bahan yang mungkin masih bisa didaur ulang.

Sudah saatnya kita mulai mengikuti jejak negara-negara maju dalam hal pengelolaan sampah. Sebut saja Jepang. Daur ulang di Jepang dilakukan secara besar-besaran, dengan melibatkan seluruh masyarakat, lengkap dengan undang-undang. Para konsumen bertanggung jawab untuk memilah-milah sampah masing-masing (sampah basah, sampah kering yang dipilah-pilah lagi menjadi botol gelas dan plastik, kaleng aluminium, dan kertas, sedangkan pemerintah daerah bertanggung jawab mengorganisir sampah-sampah itu untuk diserahkan ke pabrik pendaur ulang.

Perubahan itu memang perlu dan ada baiknya perubahan dimulai dari diri kita masing-masing karena pengelolaan sampah tidak lepas dari ‘pengelolaan’ gaya hidup masyarakat. Apalagi kita sebagai insan akademis sudah seharusnya peduli pada isu lingkungan yang satu ini. Tips-tips berikut ini dapat diterapkan untuk meningkatkan jumlah sampah plastik yang di daur ulang dan juga mengurangi jumlah sampah plastik perumahan.

  1. Cari tahu jenis-jenis plastik yang dapat didaur ulang. Sebagian besar industri daur ulang plastik hanya menerima botol plastik yang terbuat dari PET (#1) dan HDPE (#2) dan memang sebagian besar kemasan plastik (terutama botol plastik) termasuk dalam golongan-golongan tersebut. Pengelompokan kemasan plastik berdasarkan komponen penyusunnya dapat dilihat disini.
  2. Kosongkan dan bilas botol plastik. Lepas tutup dan label botol karena keduanya bersifat kontaminan. Remuk botol agar lebih menghemat tempat.
  3. Gunakan tas plastik lebih dari sekali sebelum membuangnya. Masing-masing jenis tas plastik dapat digunakan kembali untuk hal yang berbeda-beda. Contohnya adalah sebagai pelapis tempat sampah yang sering dipraktekkan oleh ibu rumah tangga.
  4. Pastikan tas plastik kosong dan bersih. Hal ini penting karena struk belanja dan bahan lain dapat mengkontaminasi plastik saat di daur ulang. Semua tas plastik bersih berlabel #2 (HDPE) atau #4 (LLDPE) dapat didaur ulang. Tas plastik yang terkena kontak langsung dengan makanan sebaiknya dipisahkan dari plastik yang akan di daur ulang.
  5. Kembalikan kemasan plastik untuk di daur ulang. Beberapa toko dan retailer mengadakan program yang menyarankan customer-nya untuk mengembalikan kemasan plastiknya untuk didaur ulang dengan imbalan tertentu.
  6. Biasakan hanya membeli hal-hal yang dibutuhkan dan pastikan kemasannya dapat didaur ulang. Apabila membeli keperluan sehari-hari dan rumah tangga, belilah dalam kemasan yang lebih besar untuk meminimalisir jumlah kemasan.
  7. Bawalah tas belanja sendiri saat berbelanja ke supermarket. Gunakan saja tas-tas plastik yang didapat dari belanja sebelumnya.
  8. Belilah produk-produk yang lebih tahan lama untuk mengurangi frekuensi membuang kemasan. Misalnya membeli shampo atau deterjen dengan konsentrasi yang lebih tinggi.

Memang hal-hal diatas tampak remeh dan merepotkan. Tetapi bayangkan jika kita semua melakukannya pasti akan menimbulkan dampak yang besar. Karena itu ajaklah kerabat dan teman-teman dekat Anda untuk ikut berperan aktif dalam melindungi lingkungan hidup kita.

sumber: http://majarimagazine.com/2009/02/mengelola-sampah-mengelola-gaya-hidup/

Menguraikan Plastik Dari Botol Minum Menjadi Catridge Printer

Volume sampah di daerah perkotaan terus bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Berdasarkan hasil survei Biro Pusat Statistik, pada tahun 1996/1997, Kota Jakarta dengan jumlah penduduk sekitar 10 juta menghasilkan sampah 25.404 meter kubik per hari. Sedangkan tahun 1998/1999 volume sampah per harinya mencapai 26.320 meter kubik, atau naik 3,6%.

Mengutip pernyataan The Body Shop, jika tiap hari sampah yang dihasilkan warga Jakarta seberat 6.955 ekor gajah, sampah kantung plastik yang bisa menutupi 2.600 lapangan sepak bola, dan sampah kertas yang jumlahnya sama dengan menebang 10.710 batang pohon, maka sudah saatnya kita bertindak bagi lingkungan (info klik disini).

Sejak tahun 1992 dunia telah digemprakan oleh isu global warming, tapi apa yang dilakukan oleh penduduk bumi? Polusi air dan udara semakin meningkat, penebangan pohon secara liar, lubang di lapisn ozon semakin bertambah, padahal hanya bumi tempat kita tinggal di dunia ini. Apa jadinya jika suatu saat bumi sudah tidak mampu menahan brutalnya pola hidup manusia yang semkin boros dalam menghasilkan sampah? Apa kita mau mengungsi ke planet lain??atau ke alam lain??

Adalah plastik, suatu material yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk alat pengemas, perabotan rumah tangga dan kantoran, hingga mainan anak-anak. Jika kita lihat dari kegunaannya (misalnya sebagai alat pengemas barang belanjaan), tentu kantong plastik tersebut sangat bermanfaat. Selain memudahkan kita membawa barang belanjaan, karakteristiknyaa yang ringan dan kedap air pun membuat kita nyaman. Dan yang pasti, tempat belanja yang kita kunjungi hampir selalu memberikan plastik tersebut secara cuma-cuma.

Barang lain yang terbuat dari bahan plastik dan sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari adalah botol kemasan air mineral. Coba kita hitung, berapa kali kita membeli minuman yang dikemas dalam botol plastik tiap minggunya? Belum lagi kegiatan-kegiatan di kampus (misalnya) yang selalu menyertakan minuman dalam kemasan sebagai bagian dari konsumsi.

Taukah plastik memerlukan waktu hingga 500 tahun untuk dapat terurai kembali? Dan ternyata, untuk membuat air minum kemasan 1 liter diperlukan 6 liter air! Lima liter air tersebur digunakan untuk mendinginkan kemasan botol tersebut. The Body Shop menghitung di Indonesia hingga akhir 2003, penggunaan bahan plastik diperkirakan mencapai 2 juta ton. Adapun potensi limbahnya sekitar 80 persen atau 1,6 juta ton.

Sebenarnya kalau kita mau, plastik dapat digunakan kembali ataupun diubah menjadi sesutu yang memiliki nilai ekonomis tinggi seperti berbagai macam kerajinan yang sering kita lihat di televisi, internet, maupun majalah-majalah.

Pada umumnya kaca, plastik, dan logam memiliki alur proses daur ulang yang sama, yang membedakannya hanyalah mesin yang digunakan dan suhu peleburan. Untuk daur ulang plastik menjadi biji plastik alatnya Mesin Proses/Recycle/Pallettizing dan sudah ada supplier untuk mesin tersebut. Sampah plastik juga bisa didaur dengan menggunakan proses extruding. Sedangkan untuk sampah logam, bisa digunakan proses recovery untuk memurnikan logam tersebut menyerupai kondisi semula dan bisa dipakai dalam proses industri yang dapat mempergunakannya. Untuk sampah kaca sepertinya agak sulit, namun kemungkinan bisa menggunakan treatment recovery pula (info lengkap klik disini).

Salah satu perusahaan terkemuka di dunia hardware komputer, HP, berhasil membuat katrid inkjet dari plastik botol air minum dan telah dipasarkan! Lebih dari 200 juta katrid telah diproduksi dengan menggunakan proses ini. Atas inovasi tersebut, The Society of Plastics Engineers, organisasi perdagangan untuk para profesional dibidang plastik, berencana memberikan penghargaan paling prestisius dalam hal pelestarian lingkungan kepada HP diacara The Global Plastics Environmental Conference.

HP memanfaatkan lebih dari 5 juta pound plastik daur ulang untuk produksi katrid inkjet-nya pada tahun 2007, selanjutnya HP berkomitmen untuk terus menggunakan bahan yang sama sebanyak dua kali lipat pada tahun 2008. Michael Hoffmann, Senior Vice President, Supplies, Imaging and Printing Group HP optimis bahwa program ini dapat mengurangi polusi di bumi kita tercinta ini.

Proses daur ulang HP yang inovatif memudahkan pengumpulan dari berbagai sumber dan kondisi dari plastik daur ulang (botol air minum sehari-hari) menjadi katrid HP Inkjet dengan teknik tinggi. Sebagai rancangan yang berkesinambungan, penggunaan konten daur ulang dapat menghemat energi dan mencegah bertambahnya sampah plastik di area-area pembuangan sampah. Sejak awal program ini berjalan, HP telah menghabiskan plastik hingga 200 truk trailer.

HP memiliki HP Planet Partners sebagai tempat pengembalian katrid Inkjet HP di 45 negara, wilayah dan teritori. Program ini memungkinkan terjadinya proses daur ulang multi-fase yang meleburkan bekas katrid menjadi bahan baku, seperti plastik dan logam. Konsumen dapat menaruh kepercayaan terhadap pengelolaan lingkungan HP karena katrid yang dikembalikan melalui Planet Partners tidak pernah diisi ulang, dijual kembali, atau dibuang.

Katrid inkjet baru ini dibuat dengan menggabungkan plastik dari katrid bekas dengan botol yang didaur ulang serta beberapa bahan tambahan lainnya sehingga katrid yang dihasilkan memenuhi standar kinerja HP yang tinggi. Dari total plastik yang digunakan, sekitar 70 hingga 100% nya adalah plastik daur ulang, namun keandalan hasil dari setiap produk benar-benar telah teruji dan HP konsisten dengan program ini.

Penggunakan konten daur ulang merupakan kemajuan yang paling mutakhir dari program Design for Environment HP. Program ini nyata dalam memperkecil dampak lingkungan dari katrid HP melalui penggunaan bahan, kemudahan dalam mendaur ulang serta pengepakan secara efisien.

Sumber:
(http://www.biskom.web.id/2008/02/09/hp-daur-ulang-plastik-botol-air-minum-menjadi-katrid-inkjet.bwi)


Dua Pilihan untuk Pulau Jawa, Jadi Kota Pulau atau Gurun Pasir

Akibat tekanan jumlah penduduk yang terus meningkat, dan makin menciutnya kawasan hutan untuk keperluan permukiman, industri, pertanian, dan prasarana jalan dan pembangunan lainnya, keadaan lingkungan di Pulau Jawa semakin mencemaskan.


Dibandingkan dengan kawasan luar Jawa, sudah sejak lama di Jawa terjadi ketidakseimbangan yang tidak wajar antara membengkaknya kawasan-kawasan permukiman, industri dan pertanian di satu sisi dengan makin menciutnya kawasan hutan di sisi lain. Beberapa pengamat lingkungan di mancanegara, khususnya di Belanda, memprediksi bahwa pada suatu saat kelak Jawa bisa berubah jadi pulau kota, yang sama sekali tidak memiliki kawasan hutan. Atau lebih buruk dari itu, Jawa bisa menjadi pulau kota yang terdiri dari kawasan-kawasan permukiman, industri dan pertanian yang terus membengkak hingga makin menciutkan wilayah hutannya.

Dan tidak mustahil pula Jawa bisa berubah jadi sebuah gurun pasir dari ujung ke ujung. Seperti gurun yang ada di sekitar Puncak Bromo dan Tengger di Jawa Timur! Lihat saja apa yang tengah terjadi pada kota Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Daerah yang kini dikenal sebagai Jabotabek ini telah menjadi demikian semrawut, tumpang-tindih satu dengan yang lain. Sangat memusingkan. Bayangkan seandainya keempat kota yang hampir berhimpit-himpitan dan masing-masing terdiri dari kawasan-kawasan permukiman, industri dan pertanian
itu bakal jadi kota-kota padang pasir, karena kawasan hutannya - terutama yang masih tersisa kawasan Bogor - bakal melenyap dilalap jadi kawasan-kawasan industri dan permukiman. Tidak adanya rem yang dapat mencegah terjadinya musibah longsor, banjir, akibat tidak adanya usaha-usaha konkret untuk mencegahnya, membuat kita tidak berani membayangkan keadaan lingkungan di Pulau Jawa pada tahun 2020.
Kenapa Pulau Jawa yang sempat dicatat sebagai pulau paling subur di dunia, berkat deretan gunung apinya harus kita biarkan ”tenggelam” akibat kehabisan daya dukung untuk dihuni oleh lebih dari separuh dari 200 juta penduduk Indonesia. Padahal luas Jawa cuma beberapa persen dari seluruh wilayah Indonesia.


Apa para ahli perencanaan kawasan, para perancang kota dan para ahli tata ruang kita belum cukup mampu menjadikan Jawa, pulau paling subur di dunia mampu meningkatkan produktivitasnya sehingga bisa menghidupi penduduknya dengan layak? Kenapa kita begitu bangga membengkakkan Jakarta jadi Jabotabek, sehingga Jakarta ibarat ”mencaplok” tiga kota sekitarnya, yakni Bogor, Tangerang dan Bekasi. Tanpa cetak biru atau rancangan dengan pendekatan ilmiah profesional yang sesuai dengan perkembangan zaman.


Tiadanya sebuah rencana induk Pulau Jawa yang dirancang dan dikendalikan secara komprehensif dan terintegrasi dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan mengakibatkan lingkungan Pulau Jawa jadi porak-poranda seperti adanya sekarang. Bukankah seharusnya ada suatu rencana nasional terhadap Pulau Jawa (demikian pula halnya terhadap daerah lainnya) yang dirancang dengan mengintegrasikan segala kemampuan intelektual dan teknologi yang dimiliki oleh semua departemen dan kantor kementerian negara terkait? Melalui suatu rancangan pengelolaan lingkungan yang komprehensif kita bisa menyembuhkan penyakit-penyakit seperti petaka banjir, tanah longsor dan penciutan kawasan hijau. Sebaliknya jika kerusakan itu terus dibiarkan hal itu merupakan ”tindakan bunuh diri” terhadap kita sendiri sebagai bangsa.


Kita tidak bisa menutup mata bahwa berbagai kejadian yang makin parah seperti penebangan hutan, banjir, dan tanah longsor makin sering terjadi pada tahun-tahun transisi dan krisis multidimensi selama hampir sebelas tahun terakhir. Orang awam pun tahu, makin merosotnya keadaan lingkungan Indonesia adalah akibat ledakan angka pengangguran yang pada gilirannya makin meningkatkan kemiskinan, seperti sedang kita alami saat ini. Namun nyaris tak seorang pejabat pun, bahkan tidak juga para ahli, apalagi para politisi tergerak hatinya untuk melakukan sesuatu, kecuali bermanis-manis.
Ibarat pepatah ”bertanam tebu di bibir” padahal keadaan di seantero Tanah Air tidak kunjung membaik. Seakan-akan mereka beranggapan bahwa dengan sekadar memberikan pernyataan politik atau ”menganalisis” permasalahannya persoalan sudah terpecahkan. Kita bersukur, bahwa gagasan untuk menyewakan pulau dari pemerintahan yang lalu kini dinyatakan ”tidak laku” di beberapa daerah. Walaupun tetap saja ada provinsi, seperti misalnya Riau, yang begitu getol mengekspor pasirnya ke Singapura untuk digunakan mengurug (reklamasi) negara pulau itu agar dapat digandengkan dengan pulau-pulau kecil sekitarnya. Kabarnya, selama 10 tahun mendatang Provinsi Riau akan mengekspor miliaran meter kubik pasir ke Singapura, hanya dengan harga kurang dari tiga dolar per meter kubiknya.
”Kebijakan lingkungan” apa lagi yang bakal menyusul, sesudah kita dengan sadar dan sengaja merusak hutan tropik, hutan bakau, dan terumbu karang di seantero Tanah Air? Bagaimana cara mengatasi kemerosotan mutu lingkungan hidup di seluruh Tanah Air, khususnya di Pulau Jawa, agar terhindar dari kemungkinan jadi gurun pasir?

Sumber: http://groups.yahoo.com/group/lingkungan/message/11722

Sembilan Cara untuk Membuat Perubahan

1. Komunitas yang Berkelanjutan
Dirancang untuk memungkinkan warga mengurangi dampak terhadap lingkungan. Warga di Mbam, Senegal, menggunakan oven tenaga matahari dan permakultur dalam usaha untuk menyelamatkan bakau. Komunitas di Denmark, AS, dan Brasil juga berusaha mengurangi dampak mereka.


2. Produksi Ternak yang Aman
Karena konsumsi daging meningkat, konsekuensi lingkunga dan kesehatan menjadi semakin nyata. Peternakan dekat pusat perkotaan dapat mengakibatkan penjangkitan penyakit dan mensyaratkan pengiriman limbah ternak ke daerah pedesaan. Bangkok, Thailand, mengenakan pajak atas produksi unggas dalam jarak 100 km dari kota.

3. Tenaga Matahari Energi matahari tetap merupakan tren yang meningkat. Sel fotovoltaik (PV) memungkinkan proses itu terjadi. Produksi global PV tumbuh 51 persen pada 2007. Jerman adalahpemasang PV paling utama di dunia, jumlahnya hampir setengah pasar dunia tahun 2007.

4. Investasi yang Bertanggungjawab Sosial Investasi yang bertanggungjawab secara sosial (SRI) memungkinkan investor menaruh uang di perusahaan yang terlibat dalam praktek usaha berkelanjutan. Meski volume SRI terbanyak ada di AS (9 persen dari total investasi), pertumbuhan pesat ada di Australia, di mana SRI tumbuh 36 kali lipat antara 2000 dan 2006.


5. bola Lampu yang Lebih "Hijau"
Penggunaan global lampu Compact Fluorescent Lamp (CFL) hampir dua kali lipat antara 2001 dan 2003. Menciptakan lebih sedikit panas ketika menghasilkan cahaya, CFL menggunakan energi 75 persen lebih sedikit daripada lampu tradisional. Jepang dengan 80 persen rumah tangga menggunakan CFL adalah pemimpin global.


6. Hutan Bersertifikat
Dalam usaha memerangi pembalakan liar di hutan primer, semakin banyak negara menciptakan hutan bersertifikat di mana pemanenan diatur dan berkelanjutan. Secara kasar 7 persen hutan dunia disertifikasi. Kanada memimpin dengan daerah tersertifikasi terbanyak: 121 juta hektar.


7. Ketenagakerjaan Hijau
Sekitar 2,3 juta orang di seluruh dunia bekerja dalam industri energi terbarukan. Jerman, Spanyol, AS, dan Denmark memimpin dunia dalam perkembangan teknologi dan pekerjaan terbarukan. Kini, ketenagakerjaan beraklih ke dunia berkembang, di mana India memimpin dalam produksi turbin angin. Kenya punya pasar tenaga matahari yang penting.


8. Emisi Karbon lebih Rendah
Emisi karbon terus berkontribusi terhadap iklim yang berubah, dengan tingkat karbon dioksida atmosfer sekarang 37 persen lebih tinggi daripada angka pra-industri. Beberapa negara secara aktif melawan tren ini. Kosta Rika berjanji utnuk memiliki emisi karbon neto nol sebelum 2030.


9. Tenaga Angin
Kapasitas tenaga angin global tumbuh sekitar 27 persen antara 2006 dan 2007. AS memimpin pemasangan baru untuk tiga tahun berturut-turut dan hanya kalah dari Jerman dalam kapasitas total. AS kini punya kapasitas untuk memberi daya bagi 4,5 juta rumah melalui listrik tenaga angin.


Sumber: National Geographic Indonesia : Detak Bumi, Edisi Spesial

Jumat, 06 November 2009

Sebuah Kota Kecil Memberikan Teladan Besar Dalam Menjaga Lingkungan Hidup

Kota Kinsale, sebuah kota peristirahatan yang seindah lukisan terbentang di antara bukit-bukit dan garis pantai di sebelah barat daya Irlandia. Kota ini mempunyai jalan yang simpang siur, sempit, dan hanya berubah sedikit baru-baru ini saja.

Pada tahun 2005, sebuah perguruan tinggi setempat membuat sebuah rencana pelestarian untuk kota ini. Rencana tersebut mendapat pengakuan internasional sebagai salah satu rencana yang pertama kali dalam rencana-rencana serupa yang melibatkan keseluruhan kota. Pelaksanaan rencana ini dimulai dengan sebuah konferensi kota, dan didukung oleh dewan kota yang mendapatkan dukungan yang luar biasa besar.

Tujuannya adalah secara perlahan-lahan mengurangi ketergantungan pada produk-produk minyak bumi, dan meningkatkan penggunaan bahan alternatif yang berkelanjutan. Beberapa inisiatifnya:

* Menggunakan sumber energi yang dapat diperbarui, baik untuk pembangkit listrik maupun panas, dan lebih banyak memakai bahan-bahan bangunan yang alami.

* Meningkatkan efisiensi pemakaian energi di rumah-rumah dan bangunan kota, sesuai dengan kesepakatan Kyoto untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

* Membangun sebuah taman bersama untuk menanam dan menyediakan produk-produk organik bagi kota: sayur-sayuran, obat-obatan, dan buah-buahan. Taman akan menjadi pusat pendidikan yang bekerja sama dengan Perguruan Tinggi Kinsale, selain juga untuk menyediakan makanan-makanan organik segar bagi kota.

* Menyarankan praktik-praktik pelestarian kepada Hotel dan Restoran dengan membuat pupuk dari sisa-sisa makanan dan membeli hasil tanaman organik lokal.

Adam Fenderson dari Energy Bulletin (Buletin Energi), sebuah sumber informasi di Internet yang setiap hari memperbarui informasi tentang perkembangan krisis energi dan solusi yang berkelanjutan, mengatakan seperti ini:"...Kinsale memiliki potensi untuk tumbuh menjadi salah satu cerita tentang Peak Oil (Titik Puncak Minyak Bumi) yang paling positif di dunia dalam waktu dekat. Setelah menyelidiki usulan-usulan solusi yang lain, saya percaya pendekatan yang digunakan Kinsale menawarkan contoh terbaik bagaimana berbagai tantangan yang kita hadapi, jika dihadapi sejak awal dan dengan sikap yang positif, dapat digunakan untuk membayangkan dan menciptakan komunitas setempat yang lebih bersemangat, makmur, dan lestari."

Dalam beberapa bulan terakhir ini, banyak kota lain di Irlandia mulai mengikuti langkah Kinsale untuk bergabung dalam "Powerdown Community Network", sebuah jaringan yang sedang berkembang di mana kota-kota di dalamnya mendedikasikan diri terhadap sumber energi alternatif yang berkelanjutan. Tim Proyek Kinsale juga berkolaborasi dengan para ahli untuk menjalankan proyek-proyek serupa di negara-negara lain seperti Swedia, Amerika Serikat, dan Australia sehingga ide ini dapat berguna dalam menguatkan semangat global yang sedang tumbuh demi menciptakan komunitas dan negara yang berlingkungan lestari dan berkelanjutan. Perubahan yang positif ini pasti merupakan hasil dari pengangkatan kesadaran rohani planet ini, dan nampaknya terus bertambah cepat dan pertambahannya tidak pernah secepat itu dalam sejarah.

Sumber: http://kontaktuhan.org/news/news171/gd_35.html

Tahukah Anda, Jika 1 Juta Orang Bergaya Hidup Selaras Dengan Alam

1. Tahukah anda bahwa pepohonan dapat mengurangi karbon (CO2) di atmosfer seiring dengan pertumbuhannya. Satu pohon bisa menyerap 1 ton karbon selama masa hidup 40 tahun.

2. Tahukah anda bahwa di seluruh dunia diperkirakan telah diproduksi 500 miliar hingga 1 triliun plastik per tahun, jumlah ini setara dengan 2 juta plasrik per menit. Jika 1 juta orang mengganti tas belanja atau aneka tas belanja dengan tas yang dapat dipakai kembali (reusable) maka kejadian ini telah mengurangi 1 milyar plastik.

3. Tahukah anda bahwa kendaraan bermotor menjadi salah satu penyumbang emisi karbon (carbon emission) dan alam tidak bisa menunggu sampai seluruh produsen kendaraan bermotor memproduksi kendaraan berbahan bakar hidrogen atau tenaga surya. Jika sepanjang 8 km perjalanan, 1 juta orang mengganti moda transportasi kendaraan bermotor dengan bersepeda maka kita akan mengurangi carbon emission sebesar 100.000 ton per tahun.

4. Tahukah anda bahwa kurang lebih 2 milyar penduduk dunia tidak memiliki akses terhadap listrik. Di lain pihak, ada 1 milyar penduduk lainnya yang bergantung pada baterai, lilin ataupun minyak tanah untuk sumber energinya. Padahal tenaga surya bisa menjadi sumber energi alternatif yang murah, mudah dan terpercaya. Dan, Jepang adalah negara dengan jumlah instalasi photovoltaic terbanyak di dunia.

5. Tahukah anda, bahwa sebuah sistem photovoltaic yang memproduksi energi listrik 150 Kwh dalam setiap bulan dapat mengurangi 150 Kg CO2, 75 Kg Batubara dan 400 liter air. Jika 1 juta rumah beralih menggunakan energi surya maka kita akan mengurangi carbon emission sebanyak 4, 3 juta ton per tahun.

6. Tahukah anda bahwa carbon emission dalam suatu rantai makanan, tidak hanya dihasilkan selama pengangkutan dari produsen ke konsumen, tetapi juga dihasilkan oleh input-input pendukungnya seperti pestisida dan pupuk, tetapi juga pembungkusnya (kertas, karton, styrofoam dan alumunium foil). Jika 1 juta orang beralih hanya menggunakan produk lokal untuk kebutuhan hidup sehari-hari selama 1 tahun, maka kita akan mengurangi carbon emission sebanyak 625.000 ton.

7. Tahukah anda, jika 1 juta orang mendaur ulang sampah mereka (logam, plastik, kaca dan kertas) maka carbon emission dapat berkurang hingga 211.000 ton.

Sumber: blogodril.blogspot.com

Apakah anda setuju bahwa pemanasan global memang sedang terjadi?

Powered By Blogger