Cari di Sini

Minggu, 08 November 2009

Kutub Bakal Tak Punya Es

Para peneliti meramalkan, Laut Artik (kutub) akan bebas es pada musim panas dalam satu dekade mendatang. Setelah musim semi berlalu, para peneliti kembali mengukur ketebalan es sepanjang 450 kilometer dengan rute menyeberangi Laut Beaufort. Mereka menemukan sebagian besar es sangat tipis.

Pemimpin ekspedisi dan pakar es lautan dari University of Cambridge, Peter Wadhams, mengatakan, pada musim semi tahun lalu rata-rata ketebalan es hanya 1,8 meter, menandakan usia lapisan itu sekitar satu tahun. Sementara itu, es yang sudah bertahun-tahun sekitar 3 meter.

Tipisnya lapisan tersebut menjadi indikasi penting kondisi memprihatinkan es di Laut Artik. ”Secara sederhana, es tipis itu akan sekejap hilang pada musim es mulai meleleh,” ujarnya. Angin dan arus laut dapat pula memecah es yang tipis itu. Es yang terpecah dan mengapung bebas akan mudah terdorong ke wilayah perairan yang lebih hangat dan mencair. Catlin Arctic Survey dan kelompok konservasi internasional WWF mendukung penemuan tersebut.

Situasi es di Artik tersebut sangat dipengaruhi iklim dan kondisi alam. Kondisi es di Laut Artik kerap pula dikaitkan dengan perubahan iklim dan pemanasan global.

Sumber: http://sains.kompas.com/read/xml/2009/10/19/07384454/kutub.bakal.tak.punya.es.

Peternakan Hasilkan 51 Persen Gas Rumah kaca

World Watch Institute, dalam laporan yang dirintis Watch Magazine Edisi November/Desember 2009 menyebut bahwa peternakan bertanggung jawab atas sedikitnya 51 persen penyebab gas rumah kaca global. Ini bukan lagi lampu kuning melainkan sudah lampu merah.

World Watch Institute adalah organisasi riset independen di Washington Amerika Serikat yang berdiri sejak 1974. Organisasi ini dikenal kritis terhadap isu global dan lingkungan. Penulis artikel itu Dr Robert Goodland, mantan penasihat utama bidang lingkungan untuk Bank Dunia, dan staf riset Bank Dunia Jeff Anhang. Keduanya membuat laporan ini berdasar Bayangan Panjang Peternakan , laporan yang diterbitkan tahun 2006 oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO).

Majalah itu terbit dalam 36 bahasa dan data penelitiannya digunakan oleh banyak NGO (lembaga swadaya masyarakat) di seluruh dunia, dan juga badan-badan di bawah PBB. NGO yang memakai data-datanya antara lain Greenpeace Southeast Asia, dan Yayasan Obor Indonesia.

Dua peneliti itu juga menghitung siklus hidup emisi produksi ikan yang diternakkan, CO2 dari pernapasan hewan, dan koreksi perhitungan yang sebenarnya dari jumlah hewan ternak yang dilaporkan di muka bumi. Gas metana yang dikeluarkan oleh hewan ternak mengikat panas 72 kali lebih kuat daripada CO2. Hal ini mewakili kenaikan yang lebih akurat dari perhitungan asli FAO dengan potensi pemanasan sebesar 23 kali. Meskipun demikian, peneliti itu memberitahu bahwa perkiraan mereka tentang 51 persen itu masih angka minimal.

"Masyarakat Indonesia, bahkan pihak-pihak yang mestinya memerhatikan isu-isu lingkungan, harus tahu informasi-informasi mengenai dampak industri peternakan dan bahaya daging. Apa yang hendak pemerintah Indonesia lakukan sekarang ini? Data-data sudah terhampar. Pemerintah, jika masih saja tidak percaya tentang bahaya daging, tolong buka internet dan mencari tahu," ujar pemerhati lingkungan yang juga dosen arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta Agustinus Madyana Putra.

Sumber: http://sains.kompas.com/read/xml/2009/11/05/08121712/peternakan.hasilkan.51.persen.gas.rumah.kaca

Adaptasi Perubahan Iklim, Tak Cukup Hanya Berbagi Informasi

Perubahan iklim yang berdampak pada pergeseran musim, membuat para petani bingung menentukan masa awal tanam. Perlu upaya simultan untuk mengajak petani beradaptasi dan mengubah pola tanam yang selama ini sudah menjadi tradisi. Pemantau Sekolah Lapang Iklim (SLI), Raja Siregar, mengatakan, adaptasi tersebut akan efektif jika dilakukan secara berkelompok. Oleh karena itu, menurut dia, dibutuhkan kelembagaan petani, tak hanya membagikan informasi. "Adaptasi perubahan iklim tidak cukup hanya dengan informasi. Jika pemerintah membuat SLI, agar memasukkan muatan kelembagaan petani. Kalau adaptasi tidak berkelompok, tidak bisa mengubah pola tanam," kata Raja, pada sarasehan iklim "Memperjuangkan Keselamatan di Tengah Perubahan Iklim", di Jakarta, Senin (2/11). Selama ini, berdasarkan pengalamannya, para petani selalu memulai tanam pada waktu yang sama meskipun telah berulang kali gagal panen. "Informasi prakiraan musim, jika digunakan petani bisa menjadi dasar keputusan awal musim. Tapi masih ada nilai-nilai lokal yang dipercayai untuk menentukan mulai tanam," ungkapnya.

Sementara itu, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Departemen Pertanian, S. Gatot Irianto mengatakan, salah satu upaya yang dilakukan pihaknya adalah menyediakan benih yang tahan terhadap perubahan iklim. Selain itu, memberikan pemahaman kepada petani bahwa ada jenis padi yang berbeda untuk ditanam di musim hujan dan musim kemarau.
"Ada benih yang tanamannya tahan rendaman. Kedua, benih yang konsumsi airnya lebih sedikit. Selama ini, petani itu pada musim hujan dan kemarau yang ditanam sama-sama padi sawah. Harusnya pada musim kering ditanam padi gogo," kata Gatot. Penguatan masyarakat adat juga dinilai bisa mengefektifkan upaya adaptasi petani terhadap perubahan iklim. Ia mencontohkan, pola pengairan di Bali yang dikenal dengan Subak. "Semua petani mematuhi sistem Subak ini untuk mengatur air. "Dasarnya tidak hanya alokasi, tapi juga ada sanksi tegas bagi yang melanggarnya Sanksi ini tidak bisa ditiru suku lain," ujar dia.

Sumber: http://sains.kompas.com/read/xml/2009/11/02/15070161/adaptasi.perubahan.iklim.tak.cukup.hanya.berbagi.informasi

Sabtu, 07 November 2009

Keberlanjutan Kehidupan di Bumi

Apa yang dimaksud dengan keberlanjutan? Definisinya banyak, tetapi semuanya mengacu kepada suatu kebenaran sederhana. Kita adalah spesies dengan hasrat tak terbatas yang hidup di Bumi yang sumber dayanya terbatas. Populasi kita, kekayaan kita, dan pengharapan kita telah tumbuh dengan dramatis dalam dekade-dekade belakangan ini, sementara Bumi, kalaupun tumbuh, telah tumbuh menjadi lebih kecil karena teknologi telah membuat kita kian dekat satu sama lain. Kita harus menyadari bahwa kita tak dapat menciptakan planet yang lebih besar. Namun itu tak berarti kita tanpa harapan. Harapan itu ada, bersama ketetapan hati, kreativitas, dan inovasi.

Kita telah menggunakan lebih banyak sumber daya terbarukan Bumi-tanaman dan tanah, air tawar, air bersih, dan yang lainnya-daripada yang dapat disimpan alam setiap tahun. Dengan jumlah penduduk yang mendekati tujuh miliar dan masih tumbuh pesat, ketidakseimbangan itu tentulah akan meningkat dengan berlalunya waktu. Kita dihadapkan pada kemungkinan, karena populasi kita akan melonjak hingga sembilan miliar pada tahun 2050, semua sumber daya Bumi mungkin tak akan cukup untuk memberi makan, memberi sandang dan memelihara kita semua.

Planet baru bukanlah pilihan dan turun menuju kemiskinan global tak dapat dipertimbangkan. Jadi, dari manakah datangnya harapan? Untuk satu hal, ini datang dari pengakuan bahwa kita dapat memperlambat laju pertumbuhan pengan jauh lebih cepat dari sekarang. Di seluruh dunia, kurangnya akses terhadap alat kontrasepsi telah mengakibatkan berjuta-juta kehamilan-diperkirakan 76 juta orang di dunia berkembang saja-yang turut membuat bengkak populasi manusia, menekan keluarga, infrastruktur lokal, dan lingkungan global. Dengan membuat program KB tersedia bagi yang menginginkannya, kita dapat memperlambat laju pertambahan penduduk secara dramatis. Jika tidak, kita mungkin akan mendapati ada 11 miliar penduduk hingga tahun 2050, bukan 9 miliar.

Namun, kita juga perlu mencari efisiensi baru. Keberlanjutan akan datang dalam 1.000 cara. Sumber energi terbarukan akan menjadi bagian penting dari solusi dan ada banyak alasan untuk berharap peningkatan kesejahteraan manusia akan ditenagai angin, Matahari, gelombang laut, dan panas Bumi.


Banyak yang juga berharap, pasokan energi berkelanjutan yang lebih beragam akan membantu menyebarkan manfaat ekonomi secara lebih luas. Bolivia, misalnya, telah lama memasok dunia dengan timah dan mineral lain. Namun, Bolivia juga punya setengah lithium dunia-bahan penting dalam baterai untuk kendaraan listrik. Warga Bolivia akan menghadapi tantangan yang sama seperti kita semua: memanfaatkan kesempatan bagi masa depan yang lebih cerah tanpa mengulangi kesalahan ekonomi dan ekologi masa lalu.

Yang ironis, sumber daya hayati dan terbarukan menghadapi tantangan terbesar. Alam menyediakan layanan mendasar yang amat banyak bagi kesejahteraan kita, tetapi kerap tak kita perhatikan sampai semua mulai menghilang. Pohon tidak akan tumbuh lagi di pinggir bukit jika tanah telah hanyut terbawa air dan ikan tak dapat lagi kembali ke tempat pembiakan yang diratakan oleh pukat ikan yang merusak. Simpanan besi, uranium, atau potasium akan ada sampai kita menggunakannya; tetapi sumber daya alam yang jauh lebih berharga, jika kita menyalahgunakannya, dapat lenyap begitu saja.

Bagi ratusan juta penduduk, dari Brasil hingga India, terutama di China, perluasan ekonomi dan globalisasi berarti bebas untuk pertama kalinya dari kemiskinan yang menggilas. Kemajuan itu kini terancam dan demikian juga kesehatan ekosistem global. Karena kita menghadapi tantangan lingkungan dan ekonomi yang kompleks dan saling terkait, kita harus berusaha tak hanya melestarikan pesona alam dan fungsi yang sangat penting dari planet tempat kita tinggal, tetapi juga memperluas harapan bagi hidup yang aman dan sumber daya yang cukup bagi seluruh umat manusia.

Sumber: National Geographic Indonesia: Detak Bumi, Edisi Spesial

Titik Panas Perubahan Global

Populasi yang terpaksa hijrah akibat perubahan lingkungan semakin bertambah.

Bangladesh

Rendahnya negeri Bangladesh dapat menggambarkan jumlah pengungsi akibat perubahan iklim di masa depan. Karena hampir setengah wilayah ini kurang dari 10 meter dati permukaan laut, luapan banjir lebih sering melanda seiring bertambahnya jumlah es yang mencair di Himalaya. Aktivitas siklon tropis sepertinya juga akan meningkat dalam waktu dekat, meluapkan sungai Padma (Gangga), Jamuna (Brahmaputra), dan Meghna yang seluruhnya berada di dalam negeri ini. Lebih dari sepertiga migran yang masuk ke Dhaka, ibukota Bangladesh, belakangan ini adalah pengungsi iklim. Hampir 80 persen persoalan Bangladesh timbul akibat erosi tanah yang dipicu oleh badai.



Gobi, China


Luas Gurun Gobi bertambah lebih dari 10.000 kilometer persegi setiap tahunnya akibat aktivitas pembajakan tanah dan penggembalaan yang berlebihan. Perluasan ini telah memaksa terjadinya penduduk dan mengancam ribuan desa lainnya di Provinsi Gansu, China, dan daerah otonomi Mongolia Dalam serta Ningxia Huizu. Populasi domba, kambing, dan sapi di China meningkat tiga kali lipat antara 1950-2002, sehingga berdampak sangat buruk terhadap kualitas tanah. Aktivitas merumput yang berlebihan oleh binatang-binatang ini dan meningkatnya penggunaan lahan untuk pertanian memungkinkan Gurun Gobi terus bertambah luas. Di Provinsi Gansu saja, sekitar 4.000 desa beresiko terkubur dalam pasir.



Alaska, AS

Peningkatan suhu global berdampak pada kehidupan ratusan penduduk desa-desa di Alaska yang telah-atau akan-dipaksa pindah. Bagian utara Alaska telah mengalami peningkatan suhu sebesar 3 derajat Celcius dalam beberapa puluh tahun terakhir, mengakibatkan pencairan es dan permafrost. MEncairnya permafrost berbahaya bagi kekuatan fondasi rumah. Mencairnya lapisan es bisa membuat sungai-sungai bergerak ke arah pedesaan dan meningkatkan permukaan air. Lenyapnya es laut yang berfungsi sebagai pelindung berarti gelombang pasang yang lebih tinggi, mengganasnya badai, dan erosi di desa-desa pesisir, khususnya yang berada di pulau-pulau penghalang.



Tuvalu

Negara pulau di Pasifik yang permukaannya rendah ini sangat rentan terhadap naiknya permukaan laut. Mengganasnya badai tropis, membuat keberadaan banyak rumah terancam oleh gelombang ombak. Luapan dan genangan air laut yang disebabkan oleh meningginya air pasang telah berdampak pada lubang-lubang tempat ditanamnya talas, makanan pokok penduduk kepulauan tersebut. Penyakit-penyakit tropis yang semakin sering menyerang diperkirakan timbul karena suhu yang semakin tinggi dan semakin luasnya area genangan air. Walaupun untuk menenggelamkan seluruh Tuvalu lempeng-lempeng es di Greenland dan Antartika harus terlebih dahulu mencair, pemerintah negara ini telah mulai menjajaki pilihan untuk merelokasi penduduknya.



Haiti

Pembabatan hutan dan penurunan kualitas tanah membuat banyak warga Haiti melarikan diri ke Republik Dominika atau Amerika Serikat. Pembabatan hutan membahayakan dua kebutuhan dasar Haiti: pertanian berkesinambungan dan energi berbasis kayu. Meningkatnya aktivitas badai tropis semakin memicu migrasi lingkungan. Pada musim panas 2008, tiga badai besar menghantam Haiti, membinasakan lebih dari 500 orang dan membuat sekitar satu juta jiwa menjadi tunawisma. Dengan pendapatan domestik bruto terendah di belahan Bumi bagian barat, sangat sedikit yang bisa dilakukan Haiti untuk menyelesaikan krisis ini.



Sumber: National Geographic Indonesia: Detak Bumi, Edisi Spesial

Apakah anda setuju bahwa pemanasan global memang sedang terjadi?

Powered By Blogger